Kamis, 08 Juni 2023

ORANGTUA MENDIDIK ANAK WAJIB ATAU SUNAH SIH...??

Tags

 



" Anak Ibarat Kertas Kosong, bagaimana kita melukisnya. Akhlak dan Ilmu ibarat lukisan paling indah di alam semesta ini."



 

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan kosong, mulai dari bayi (anak) sampai tua. Allah bekali ruh, jasad berserta panca indranya sebagai modal untuk kehidupannya kelak. Terbentuknya hati dan jiwa seseorang tergantung bagaimana ia memasukan data-data positif atau negatif dalam hidupnya. (Terbentuknya jiwa dan hati pada manusia, ada diartikel sebelumnya)

Orang tua merupakan sosok panutan pertama bagi anak sejak pertama dilahirkan. Dalam hal ini, orang tua wajib mendidik dan membesarkan anak dengan baik. Memberi pelajaran pada anak tentang berbagai macam hal, seperti berjalan, berbicara, hingga etika dan nilai-nilai sosial yang baik. Anak adalah amanah sekaligus ujian dari Allah SWT. yang sudah sepatutnya dijaga dan diberi hak-haknya sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), dan orang tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nasrani, atau majusi. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.

 

 وَعَنْهُ اَيْضًا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا مِنْ مَوْلِدٍ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِتْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

 

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah juga, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas fitrah (kesucian seperti tabula rasa, kertas yang belum ditulis apapun, masih putih). Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.

Sejalan dengan hadis tersebut dalam Al-Qur`an surah at-Tahrîm ayat 6:

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ  ٦

 

Hai orang-orang yang beriman. Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan)

Penulis mengambil penjelasan dari Tafsîr Jalâlayn (Jalaluddin As-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli) di jelaskan maksud ayat di atas: Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian) dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada Allah (dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia) orang-orang kafir (dan batu) seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu. Atau dengan kata lain api neraka itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut dapat terbakar. Berbeda halnya dengan api di dunia, karena api di dunia dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya (penjaganya malaikat-malaikat) yakni, juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surat Al-Muddatstsir (yang kasar) lafal ghilaazhun ini diambil dari asal kata ghilazhul qalbi, yakni kasar hatinya (yang keras) sangat keras hantamannya (mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka) lafal maa amarahum berkedudukan sebagai badal dari lafal Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga neraka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah (dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan) lafaz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafal yang sebelumnya. Dalam ayat ini terkandung ancaman bagi orang-orang mukmin supaya jangan murtad; dan juga ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik yaitu, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.

Orang tua dalam Islam dituntut untuk bersungguh-sungguh membina, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Tujuannya agar anak-anak tersebut selamat dunia akhirat. Bukan hanya mendidik, terdapat beberapa kewajiban orang tua terhadap anak menurut pandangan Islam yang perlu dipenuhi. Mulai dari memberi nama yang baik, mengakikahkan anak, mengkhitan, memberikan pendidikan agama, mengajarkan salat dan Alquran, Memberi nafkah yang halal, dan menikahkan. Sehinga ketika anak tumbuh dewasa tidak lemah segala sesuatunya. Allah SWT. mengecam keras bagi orang tua yang tidak memperdulikan kewajiban terhadap anak-anaknya, Allah berfirman di dalam surah an-Nisâ` ayat 9;

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا  ٩

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Penulis mengambil tafsîr tahlîlî kemenag RI: Orang yang telah mendekati akhir hayatnya diperingatkan agar mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalu bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalu berkata lemah lembut, terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.

Kemudian jika kita melihat salah satu aturan undang-undang dalam negara Indonesia, kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa kewajiban orang tua terhadap anak mencakup empat hal, yaitu:

  1. mengasuh, memelihara, melindungi dan mendidik anak; 
  2. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan minat dan bakatnya; 
  3. mencegah anak menikah pada usia dini; 
  4. dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti anak. 

Ada nasihat yang perlu kita ambil dari sejarah kehidupan Lukmanul hakim, terutama dalam mendidik anaknya sehingga Allah abadikan di dalam Al-Qur`an surah Lukman. Allah berfirman;

يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ  ١٧

Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma'ruf dan cegahhh (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itutermasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman/31:17).

Pada ayat ini, Lukman mewasiatkan kepada anaknya hal-hal berikut:

1.      Selalu mendirikan salat dengan sebaik-baiknya, sehingga diridai Allah. Jika salat yang dikerjakan itu diridai Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar dapat dicegah, jiwa menjadi bersih, tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang itu, dan mereka tidak akan bersedih hati jika ditimpa cobaan, dan merasa dirinya semakin dekat dengan Tuhannya. Nabi saw bersabda: “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

2.      Berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridai Allah, berusaha membersihkan jiwa dan mencapai keberuntungan, serta mencegah mereka agar tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa. Allah berfirman:

Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (asy-Syams/91: 9-10)

3.      Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa, akibat dari mengajak manusia berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang mungkar, baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan dan kemegahan, maupun dalam bentuk ke-sengsaraan dan penderitaan.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan tiga hal tersebut di atas karena merupakan pekerjaan yang amat besar faedahnya bagi yang mengerjakannya dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat.

Dalam tafsir M. Quraish Shihab menjelaskan nasihat Luqman di atas menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan amal-amal saleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikan yang tecermin dalam amar makruf  dan nahi mungkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah. Menyuruh mengerjakan makruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Itu agaknya yang menjadi sebab mengapa Luqman tidak memerintahkan anaknya melaksanakan makruf dan menjauhi mungkar, tetapi memerintahkan, menyuruh dan mencegah. Di sisi lain membiasakan anak melaksanakan tuntunan ini menimbulkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial.

Terakhir penulis akan menjelaskan boleh atau tidakah seorang guru menerima upah dari muridnya dan bagaimana kewajiban orangtua untuk membayar hal tersebut. Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hukum, ada yang memperbolehkannya ada juga yang tidak memperbolehkanya. Mayoritas ulama memperbolehkannya dengan alasan dalam beberapa hadits telah dijelaskan beberapa kejadian yang dialami oleh para sahabat dalam menyikapi hal di atas, misalnya seperti yang tercantum dalam hadits shahih berikut: 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ  

Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata ‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’ Para sahabat pun menjawab ‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.’ lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan kambing. Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah.’ Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: ‘Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku’. (HR Bukhari)  

Dalam beberapa redaksi hadits yang lain, Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat:  

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ

Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah. (HR Bukhari).  

Menanggapi hadits di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya:  

فمن هذا الحديث الصحيح يستفاد أن أخذ الأجرة على القرآن جائزة لأن النبی أقر الصحابة على أخذ الغنم في مقابل الرقية بفاتحة الكتاب وأخذ نصيبه معهم، و عمم الحكم فقال: "إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله". وهذا أقوى ما يكون في إفادة العموم. وأما حديث: "اقرأوا القرآن ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه ولا تأكلوا به" فهو حديث ضعيف في إسناده انقطاع، وعلى فروض صحته فالحديث الذي ذكرناه أصح وأقوى، لأنه ثبت في الصحيحين وهذا الحديث في "مسند أحمد"، والمسند لا يختص بالصحيح بل فيه الضعيف كما هو معلوم.

Berdasarkan hadits ini, dapat ditarik kepahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai ganti atas bacaan mantra berupa surah Al-Fâtihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut) bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata: ‘Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah’. Dalil ini merupakan paling kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh).

           https://modalmotivasi.blogspot.com/2023/11/manusia-tahu-dirinya.html

 




 

 

 

Nasruddin Idris, Sehat Kaya Manfaat dan Bahagia Modalnya Motivasi Hidup, Baca profil Nasar selengkapnya, klik di sini...

Komentar Facebook :

Komentar dengan Akun Google :


EmoticonEmoticon

PLURALISME DAN DEMOKRASI, DITERIMA APA DITOLAK ?

  " Syariat bisa berubah karena perubahan zaman, tetapi akidah tidak akan berubah"  (Buya Hamka) PLURALISME DAN DEMOKRASI, DITERIM...