" Anak Ibarat Kertas Kosong, bagaimana kita melukisnya. Akhlak dan Ilmu ibarat lukisan paling indah di alam semesta ini."
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan kosong, mulai
dari bayi (anak) sampai tua. Allah bekali ruh, jasad berserta panca indranya
sebagai modal untuk kehidupannya kelak. Terbentuknya hati dan jiwa seseorang tergantung
bagaimana ia memasukan data-data positif atau negatif dalam hidupnya. (Terbentuknya
jiwa dan hati pada manusia, ada diartikel sebelumnya)
Orang tua merupakan sosok panutan pertama bagi anak sejak
pertama dilahirkan. Dalam hal ini, orang tua wajib mendidik dan membesarkan
anak dengan baik. Memberi pelajaran pada anak tentang berbagai macam hal,
seperti berjalan, berbicara, hingga etika dan nilai-nilai sosial yang baik. Anak
adalah amanah sekaligus ujian dari Allah SWT. yang sudah sepatutnya dijaga dan
diberi hak-haknya sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW
menjelaskan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), dan orang
tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nasrani, atau majusi. Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
…وَعَنْهُ اَيْضًا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا مِنْ مَوْلِدٍ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِتْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Dan
diriwayatkan dari Abu Hurairah juga, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas
fitrah (kesucian seperti tabula rasa, kertas yang belum ditulis apapun, masih
putih). Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani,
ataupun Majusi.
Sejalan dengan hadis tersebut dalam Al-Qur`an surah at-Tahrîm
ayat 6:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا
مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ
وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
Hai
orang-orang yang beriman. Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar lagi keras, mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang
telah diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan)
Penulis mengambil penjelasan dari Tafsîr Jalâlayn
(Jalaluddin As-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli) di jelaskan maksud ayat di
atas: Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kalian dan keluarga
kalian) dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada Allah (dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia) orang-orang kafir (dan batu) seperti
berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu.
Atau dengan kata lain api neraka itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut
dapat terbakar. Berbeda halnya dengan api di dunia, karena api di dunia
dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya (penjaganya malaikat-malaikat) yakni,
juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan
belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surat
Al-Muddatstsir (yang kasar) lafal ghilaazhun ini diambil dari asal kata
ghilazhul qalbi, yakni kasar hatinya (yang keras) sangat keras hantamannya
(mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang telah
diperintahkan-Nya kepada mereka) lafal maa amarahum berkedudukan sebagai badal
dari lafal Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga neraka itu
tidak pernah mendurhakai perintah Allah (dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan) lafaz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafal yang
sebelumnya. Dalam ayat ini terkandung ancaman bagi orang-orang mukmin supaya
jangan murtad; dan juga ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang
munafik yaitu, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka
masih tetap kafir.
Orang tua dalam Islam dituntut untuk bersungguh-sungguh
membina, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Tujuannya agar
anak-anak tersebut selamat dunia akhirat. Bukan hanya mendidik, terdapat
beberapa kewajiban orang tua terhadap anak menurut pandangan Islam yang perlu
dipenuhi. Mulai dari memberi nama yang baik, mengakikahkan anak, mengkhitan,
memberikan pendidikan agama, mengajarkan salat dan Alquran, Memberi nafkah yang
halal, dan menikahkan. Sehinga ketika anak tumbuh dewasa tidak lemah segala
sesuatunya. Allah SWT. mengecam keras bagi orang tua yang tidak memperdulikan
kewajiban terhadap anak-anaknya, Allah berfirman di dalam surah an-Nisâ` ayat
9;
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ
خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ
وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Penulis mengambil tafsîr tahlîlî kemenag RI: Orang
yang telah mendekati akhir hayatnya diperingatkan agar mereka memikirkan,
janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang
kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalu bertakwa dan
mendekatkan diri kepada Allah. Selalu berkata lemah lembut, terutama kepada
anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti
memperlakukan anak kandung sendiri.
Kemudian jika kita melihat salah satu aturan
undang-undang dalam negara Indonesia, kewajiban orang tua terhadap anak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang tersebut merupakan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal
26 Undang-Undang tersebut mengatakan bahwa kewajiban orang tua terhadap anak
mencakup empat hal, yaitu:
- mengasuh, memelihara, melindungi
dan mendidik anak;
- menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan kemampuan minat dan bakatnya;
- mencegah anak menikah pada usia
dini;
- dan memberikan pendidikan
karakter dan penanaman nilai budi pekerti anak.
Ada nasihat yang perlu kita ambil dari sejarah kehidupan Lukmanul hakim, terutama dalam mendidik anaknya sehingga Allah abadikan di dalam Al-Qur`an surah Lukman. Allah berfirman;
يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧
Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan
suruhlah (manusia) berbuat yang
ma'ruf dan cegahhh (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian
itutermasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman/31:17).
Pada ayat ini, Lukman
mewasiatkan kepada anaknya hal-hal berikut:
1. Selalu mendirikan salat dengan
sebaik-baiknya, sehingga diridai Allah. Jika salat yang dikerjakan itu diridai
Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar dapat dicegah, jiwa menjadi bersih,
tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang itu, dan mereka tidak akan bersedih
hati jika ditimpa cobaan, dan merasa dirinya semakin dekat dengan Tuhannya. Nabi
saw bersabda: “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika
engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim)
2. Berusaha mengajak manusia mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik yang diridai Allah, berusaha membersihkan jiwa dan
mencapai keberuntungan, serta mencegah mereka agar tidak mengerjakan
perbuatan-perbuatan dosa. Allah berfirman:
Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (asy-Syams/91:
9-10)
3. Selalu bersabar dan tabah terhadap segala
macam cobaan yang menimpa, akibat dari mengajak manusia berbuat baik dan
meninggalkan perbuatan yang mungkar, baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan
dan kemegahan, maupun dalam bentuk ke-sengsaraan dan penderitaan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan
tiga hal tersebut di atas karena merupakan pekerjaan yang amat besar faedahnya
bagi yang mengerjakannya dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat.
Dalam tafsir M. Quraish Shihab menjelaskan nasihat Luqman
di atas menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan amal-amal saleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikan
yang tecermin dalam amar makruf dan nahi mungkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah. Menyuruh
mengerjakan makruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya,
karena tidaklah wajar menyuruh sebelum
diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih
dahulu mencegah dirinya. Itu agaknya yang menjadi
sebab mengapa Luqman tidak memerintahkan anaknya melaksanakan makruf dan menjauhi
mungkar, tetapi memerintahkan, menyuruh dan mencegah.
Di sisi lain membiasakan anak melaksanakan tuntunan ini menimbulkan dalam dirinya
jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial.
Terakhir penulis akan menjelaskan boleh atau tidakah seorang guru menerima upah dari muridnya dan bagaimana kewajiban orangtua untuk membayar hal tersebut. Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli hukum, ada yang memperbolehkannya ada juga yang tidak memperbolehkanya. Mayoritas ulama memperbolehkannya dengan alasan dalam beberapa hadits telah dijelaskan beberapa kejadian yang dialami oleh para sahabat dalam menyikapi hal di atas, misalnya seperti yang tercantum dalam hadits shahih berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلاَ نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لاَ نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ: «وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa
sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun
mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus
berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu
mereka berkata ‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa
meruqyah?’ Para sahabat pun menjawab ‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada
kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah
pada kami.’ lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah,
lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya
lalu mengeluarkannya hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan
mereka memberikan kambing. Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya,
sampai kami bertanya pada Rasulullah.’ Mereka pun menanyakan perihal kejadian
tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: ‘Apa itu Ruqyah?
Ambillah, dan berilah bagian untukku’. (HR Bukhari)
Dalam beberapa redaksi hadits yang lain, Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca)
kitab Allah. (HR Bukhari).
Menanggapi hadits di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya:
فمن هذا الحديث الصحيح يستفاد أن أخذ الأجرة على القرآن جائزة لأن النبی أقر الصحابة على أخذ الغنم في مقابل الرقية بفاتحة الكتاب وأخذ نصيبه معهم، و عمم الحكم فقال: "إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله". وهذا أقوى ما يكون في إفادة العموم. وأما حديث: "اقرأوا القرآن ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه ولا تأكلوا به" فهو حديث ضعيف في إسناده انقطاع، وعلى فروض صحته فالحديث الذي ذكرناه أصح وأقوى، لأنه ثبت في الصحيحين وهذا الحديث في "مسند أحمد"، والمسند لا يختص بالصحيح بل فيه الضعيف كما هو معلوم.
Berdasarkan
hadits ini, dapat ditarik kepahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an
adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil
kambing sebagai ganti atas bacaan mantra berupa surah Al-Fâtihah dan
beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut) bersama mereka, lalu beliau
mengglobalkan hukum dengan berkata: ‘Sesungguhnya yang paling berhak untuk
kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah’. Dalil ini merupakan paling
kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh).
https://modalmotivasi.blogspot.com/2023/11/manusia-tahu-dirinya.html
EmoticonEmoticon