Dalam beberapa tahun
terakhir, kata pluralisme telah meningkat popularitasnya, terutama di kalangan
Muslim. Dan ini menjadi isu kontemporer yang saat ini menjadi perhatian banyak
orang. Pluralisme dalam kajian keagamaan mempunyai banyak pengertian, tinggal
dari sudut apa pluralisme itu didefinisikan. Misalnya, pluralisme seringkali
disetarakan dengan istilah kerukunan, toleransi, atau hubungan dialogis. Meski
dalam kajian sosiologis, dapat diartikan dengan kerukunan, toleransi, atau
hubungan dialogis, tetapi dalam kajian keagamaan atau teologi, pluralisme
diartikan dengan peletakkan kebenaran agama dalam posisi paralel atau sejajar.
Berdasarkan sudut pandang
ini, pluralisme sering bertukar makna dengan istilah paralelisme, karena
paralelisme juga dimaknai sebagai usaha untuk mendudukkan agama-agama secara
sejajar dalam pencarian kebenaran dan titik-titik padanan dan pertemuan antar
agama.[1]
Berdasarkan pengertian
tersebut, yaitu pertemuan antara agama, di mana semua kebenaran agama
diletakkan secara paralel, maka kebenaran agama menjadi relatif dan tergantung
pemeluknya. Dengan demikian, paralelisme meletakkan semua agama dianggap
sebagai jalan (wasilah) yang berbeda, tetapi mempunyai substansi yang sama,
yakni mengabdi kepada Tuhan. Oleh sebab itu, agama dianggap sebagai jalan yang
dihasilkan dari gejala empiris pengalaman kesejarahan manusia. Sedangkan
ditinjau dari sudut perenial, agama dipahami sebagai suatu jalan yang sah
menuju realitas ketuhanan.[2]
Berangkat dari pemikiran
yang menyatakan, bahwa agama adalah gejala empiris manusia, maka kebenaran
agama, terletak pada validitas kebenaran yang hanya tergantung dari fungsi
pragmatisme. Apabila agama tidak menghasilkan fungsi pragmatisnya, maka agama
dapat atau boleh diubah disesuaikan dengan fungsi pragmatisme. Adapun yang
dimaksudkan dengan fungsi pragmatis adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau
nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan
sebagainya), bergantung pada penerapan bagi kepentingan manusia.[3]
Bilamana agama tidak dapat
melayani kehidupan pragmatis manusia, atau justru dianggap sebaliknya, yaitu
sebagai pengganggu, maka klaim kebenaran (truth claim) agama perlu
ditinjau kembali, diragukan, dikritisi apabila diperlukan agama dapat diubah
menjadi agama yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Oleh karena agama merupakan
fungsi pragmatis, maka diperlukan pemikiran-pemikiran segar untuk mengatasi
kekolotan agama.[4]
Untuk mengatasi kekolotan
tersebut, maka diperlukan standar untuk menentukan kebenaran pragmatis manusia
bukan dari agama itu sendiri, melainkan dari nilai-nilai obyektif dan bersifat
universal. Hal itu dapat dilihat seperti dalam paham humanisme, liberalisme,
sekularisme yang seringkali dimodifikasikan dengan istilah demokratisme.
Ideologi demokrastisme
meski dapat dikatakan suatu paham yang diterima oleh hampir seluruh
bangsa-bangsa saat ini, tetapi istilah ini tidak cukup diartikan secara politis
semata, seperti istilah metode pemilihan seorang pemimpin. Lebih dari itu
demokratisme yang dikaitkan dengan agama, maka demokrasi mempunyai makna yang
lebih luas, meliputi pemikiran atau gagasan, nilai, ideologi, sampai karakter
personal. Sehingga demokrasi dapat diartikan kesediaan untuk berkompromi,
kesediaan menerima pendapat orang lain, dan dapat diklaim sebagai cara hidup,
maupun toleransi.[5]
Konsep dasar demokrasi yang meliputi ajaran yang meletakkan kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya, sebagai suatu nilai dan norma, maka demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah anjuran moral untuk memberikan ruang bagi orang lain untuk mengembangkan potensi pribadinya. Sebagai ideologi, demokrasi sebagai sebuah paham yang memberikan manusia dalam mengekspresikan diri, dan sebagai karakter. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka demokrasi sering dimaknai dengan keterbukaan diri selebar-lebarnya untuk menerima pendapat atau gagasan dari luar. Sehingga, makna demokrasi sejatinya tidak sama dengan istilah liberalisme ataupun inklusivisme.[6]
Kurangnya pemahaman tentang pluralisme dan demokrasi memberi dampak buruk terhadap eksistensi agama maupun negara. Gagalnya pemahaman seseorang tentang itu akan mengakibatkan pertama, kelompok-kelompok muslim tertentu akan menjadikan alat untuk saling bermusuhan, kelompoknya merasa paling benar di antara kelompok lain. Kedua, kelompok-kelompok yang berbeda tentu akan menjadikan alat untuk politik identitas di suatu negara. Ketiga, lunturnya rasa kesatuan dan persatuan di antara masyarakat negara. Keempat, menimbulkan pembentukan kubu-kubu politik dengan pandangan kelompoknya sendiri. Misalnya ada kelompok yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara. Kelima, sistem ekonomi yang akan terganggu dengan alasan sistem bukan buatan kelompoknya. Dan masih banyak yang lainnya.
Agar tidak terjadi hal-hal
seperti itu, maka perlu adanya tinjauan kembali tentang pemahaman masyarakat
tentang pluralisme dan demokrasi secara komprehensif.
Jika pemahaman tentang pluralisme dan demokrasi dalam bahasa agama dapat diserap dan dipahami oleh lapisan masyarakat maka masyarakat akan menerima pluralisme dan demokrasi dalam kehidupannya dan secara otomatis kemajuan suatu bangsa akan tercapai tanpa adanya konflik tertentu.
Daftar Footnote:
[1] Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius,
Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal. 240.
[2] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hal. 183.
[3]Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Aplikasi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kelima, Jakarta, 2016-2023.
[4] Mahbub Jamaluddin, Pangeran Bersarung,
Yogyakarta: LkiS, 2005, hal. 381.
[5] Fuad Fachruddin, Agama Dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah
Dan Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, hal. 27.
[6] Masdar Hilmy, “Eksemplar Moderatisme Islam Indonesia Refleksidan
Retrospeksi atas Moderatisme NU dan Muhammadiyah, dalam situs resmi
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,” dalam http://pasca.sunan-ampel.ac.id/?p=1694),
Diakses 27 April 2012.