Selasa, 28 November 2023

Manusia Tahu Diri

Tags


 

“ Siapa yang mengenal dirinya

maka ia akan mengenal Tuhannya ”

(Orang bijak)

 

MANUSIA YANG KENAL DENGAN TUHANNYA

"dari mana manusia berasal, mau ngapain, dan mau kemana?". Pertanyaan klasik ini selalu menarik untuk dijawab oleh umat manusia sepanjang zaman. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berbagai filosof dan ilmuwan mencoba membangun konsep tersebut. Dalam kenyataannya, jawaban atas pertanyaan ini selalu mengandung kelemahan karena keterbatasan manusia dalam memahami siapa dirinya dan Tuhannya. Karenanya, sejumlah gugatan terhadap konsep manusia hadir di hadapan kita. Permasalahannya adalah mungkinkah kita akan berhasil membangun konsep manusia yang dapat memahami hakikat dirinya dan Tuhannya.

Sebagai seorang khalifah di alam jagat ini, hendaknya kita tahu bahwa diri kita adalah manifestasinya Allah, perwujudan adanya Allah adalah manusia. Salah satu sifat wajib bagi Allah adalah wujud yang artinya ada, adanya secara wujud haqiqi, tidak ada permulaan dan tidak ada kesudahan dan bersifat qodim (terdahulu) dan baqa’ (kekal). Inilah wujud Allah yang sesungguhnya. Wujud Allah SWT yang haqiqi akan kita bisa lihat di akhirat nanti bagi siapa yang Allah SWT kehendaki. Hal ini tertulis di dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyaamah ayat 22-23:

            

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat.”

Diperjelas dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 26, sebagai berikut;

               •        

Artinya: “bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya”.

Yang dimaksud dengan tambahannya pada ayat diatas ialah kenikmatan melihat Allah SWT. ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah SWT. dengan mata mereka di akhirat nanti, karena dalam ayat ini Allah SWT. menggandengkan kata “melihat” dengan kata depan “ilaa” yang ini berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka, artinya mereka melihat wajah Allah SWT. dengan indera penglihatan mereka.

Bahkan firman Allah SWT. ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah SWT. Dan waktu mereka melihat wajah Allah SWT. adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap waktu. 

Selanjutnya adalah wujud mujazi, wujud yang ada permulaan dan ada kesudahan tidak bersifat Qodim (dahulu) dan Baqa’ (kekal) wujud ini ada bersandarkan Qudrat (kuasa) dan Iradat-Nya (kehendak) Allah SWT. sehingga manusia di katakan wujud mujazinya Allah SWT. dengan wujud itu kita mengenal Allah di alam jagat raya ini dan di dalam diri kita sendiri. Jika ingin mengenal Allah kenalilah diri kita sendiri sebagai manifestasinya Allah SWT. di bumi. 

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Artinya: "Barangsiapa telah mengenal (hakekat dan kedudukan) dirinya, berarti ia telah mengenal Tuhannya." (Hadits ini disebutkan oleh Al-Mulla Ali Al-Qory di dalam kitab haditsnya "Al-Asrooru Al-Marfu'atu Fil akhbaari Al-Maudhu'ah no.506).

Manusia diberi alat indra dan hati untuk mengenal dirinya, alam semesta, dan Allah SWT. Kita lihat Al-Qur’an surat Al-Insaan ayat 2, berikut ini;

         •  

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat.”

Berangkat dari penjelasan ayat di atas, Allah memberikan alat indra paling utama, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati. Kebanyakan manusia terlena dan terjebak dengan alat indra ini, ia gunakan kepada hal-hal yang mendatangkan keburukan bukan kebaikan, sehingga alat indra ini mati sebagai fungsi utamanya untuk mengenal dirinya, alam semesta, dan Tuhannya. Ketika kedua alat indra ini Allah matikan sebagai fungsi utamanya walaupun panca indera mereka sehat mereka dipandang tuli, bisu, dan buta oleh karena tidak dapat menerima kebenaran dan kebaikan-kebaikan dalam diri manusia tersebut. Bahkan Allah mengecam serius dalam persoalan ini, kita lihat surat Al-Baqarah ayat 18;

         

Artinya: “mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”

Dipertegas Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 46;

              •             

Artinya: “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”

Sebagai seorang makhluk yang paling sempurna yang dibekali hati dan panca indra hendaklah ia mampu menggunakannya sebaik-baiknya untuk sadar terhadap jati dirinya dan Allah SWT. bukan sebaliknya.

Seringkali kita mengaku sudah kenal Tuhan kita, tapi tak mau patuh dengan perintahNya, bahkan kita masih berani sembunyi-sembunyi atau terang-terangan melakukan hal yang dilarang. Punya hati kita gunakan untuk merasa paling pintar dan benar, merendahkan orang lain, punya telinga kita gunakan untuk mendengar yang tidak baik, punya mata kita gunakan melihat yang dilarang, punya mulut kita gunakan untuk mencela, memfitnah, gibah, hasut, dengki, adu domba, punya tangan dan kaki kita gunakan untuk maksiat, punya kemaluan disalurkan kepada yang haram. Semua perbuatan buruk yang pernah kita lakukan karna hati kita telah tertutup dan mati dari kebenaran.

Firman Allah dalam Al-Qur’an surat AL-A’raaf ayat 179;

  •                                 

Artinya: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”

Mulai saat ini sebelum mata ini tertutup selamanya, kita harus sadar bahwa Allah SWT selalu mencatat semua perbuatan buruk kita yang nantinya akan dipertanggung jawabkan di hadapanNya.

Jika kita mengakui bahwa kita kenal Tuhan kita Allah SWT. dan kenal diri kita sebagai manifestasiNya di bumi ini, kita akan memberikan haknya yang baik untuk jasad (telinga, mata, mulut, perut, tangan, kaki dsb.), hak hati dan hak ruh kita. Dan kita harus siap melakukan tugas kita sebagai manusia baik dalam keadaan senang ataupun tidak senang mewujudkan sifat kasih dan sayangnya Allah SWT. kepada manusia lainnya, juga harus mampu berpikir positif dalam semua keadaan. Sehingga pertanyaan "dari mana manusia berasal, mau ngapain, dan mau kemana?". dapat kita jawab.





 

Kamis, 20 Juli 2023

Sejarah Dewan Wali Nusantara

Tags

 


" Siapa yang melupakan sejarah maka ia melupakan orangtuanya "



Sejarah Dewan Wali Nusantara

 

Dalam Al-Qur’an (surah al-Baqarah/2: 257 dan surah Yûnus/10: 62) wali diartikan sebagai pemimpin, teman atau kerabat. Di Indonesia digunakan sebagai sebutan kepada Wali Songo (Sembilan Wali), penyebar utama Agama Islam di pulau jawa pada abad 14 - 18 M. Sebenarnya nama Wali Songo adalah nama suatu Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh, apabila salah seorang dewan tersebut pergi atau meninggal dunia maka akan segera diganti oleh wali lainnya. Mereka tidak hanya berkuasa dalam bidang keagamaan, tetapi besar juga pengaruhnya di bidang politik dan pemerintahan. Karena itu diberi gelar sunan, yang biasanya dipakai oleh raja. Orang nusantara mengenal Wali Songo sebagai sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Mereka tidak hidup persis bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Mereka tinggal di pantai utara pulau jawa dari awal abad ke 14 M hingga pertengahan abad ke 16 M. Di tiga wilayah penting yaitu: Surabaya-Gersik-Lamongan (Jawa Timur), Demak-Kudus-Muria (Jawa Tengah), dan Cirebon (Jawa Barat). Mereka adalah para ilmuan (Ulama/Intelektual Muslim) pembaharu masyarakat pada masanya yang mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru (kesehatan, pertanian, perdagangan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, politik, dan pemerintahan).

Pesantren Ampel Denta dan Pesantren Giri Kedaton adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah Timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama besar, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum dhuafa. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.

Di bawah ini adalah penulis tampilkan generasi ke generasi Wali Songo dari Sayyid Hadi bin Abdullah R.A. Bersumber dari Sayyid Baharuddin Ba’alawi Al-Husaini R.A. berkata:

1.            1404 M – 1435 M

1)      Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) w. 1419 M

2)      Maulana Ishak w. 1463

3)      Maulana Akbar Jumadil Kubra w. 1465 M

4)      Maulana Muhammad Al-Maghribi w. 1465 M

5)      Maulana Malik Isro’il w. 1435 M

6)      Maulana M. Ali Akbar w. 1435 M

7)      Maulana Hasanudin w. 1462 M

8)      Maulana Aliyuddin w. 1462 M

9)      Maulana Syekh Subakir / Syek M. Al-Bagir

 

2.           1435 M – 1463 M

1)      Raden Rahmat (Sunan Ampel) 1419 M Menggantikan Sunan Gresik

2)      Maulana Ishak w. 1463 M

3)      Maulana Akbar Jumadil Kubra w. 1465 M

4)      Maulana Muhammad Al-Maghribi w. 1465 M

5)      Sunan Kudus menggantikan Maulana Malik Isro’il w. 1435

6)      Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati )  menggantikan Maulana M. Ali Akbar w. 1435

7)      Maulana Hasanudin w. 1462 M

8)      Maulana Aliyuddin w. 1462 M

9)      Maulana Syekh Subakir / Syek M. Al-Bagir w. 1463 M

 

3.           1463 M – 1466 M

1)      Raden Rahmat (Sunan Ampel)

2)      Raden Paku (Sunan Giri) Menggantikan Maulana Ishak w. 1463 M

3)      Maulana Akbar Jumadil Kubra w. 1465 M

4)      Maulana Muhammad Al-Maghribi w. 1465 M

5)      Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)

6)      Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

7)      Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) Menggantikan Maulana Hasanudin w. 1462 M

8)      Raden Qasim (Sunan Drajat) Menggantikan Maulana Aliyuddin w. 1462 M

9)      Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) Menggantikan Maulana Syekh Subakir / Syek M. Al-Bagir w. 1463 M

 

4.            1466 M – 1513 M

1)      Raden Rahmat (Sunan Ampel) w. 1481 M

2)      Raden Paku (Sunan Giri) w. 1505 M

3)      Raden Fattah Menggantikan Maulana Akbar Jumadil Kubra w. 1465 M

4)      Fatullah Khan / Falatehan Menggantikan Maulana Muhammad Al-Maghribi w. 1465 M

5)      Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)

6)      Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) w. 1569 M

7)      Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) w. 1525 M

8)      Raden Qasim (Sunan Drajat)

9)      Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) w. 1513 M

 

5.            1513 M – 1533 M

1)      Syekh Siti Jenar w. 1517 Menggantikan Raden Rahmat (Sunan Ampel) w. 1481 M

2)      Raden Faqih (Sunan Ampel II) Menggantikan Kaka Iparnya Raden Paku (Sunan Giri) w. 1505 M

3)      Raden Fattah w. 1518 M

4)      Fatullah Khan / Falatehan

5)      Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) w. 1550

6)      Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) w. 1569 M

7)      Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) w. 1525 M

8)      Raden Qasim (Sunan Drajat) w. 1533 M

9)      Raden Umar Sahid (Sunan Muria) Menggantikan Ayahnya Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) w. 1513 M

 

6.            1533 M – 1546 M

1)      Syekh Abd. Kohar (Sunan Sedayu) Menggantikan Ayahnya Syekh Siti Jenar w. 1517

2)      Raden Zaenal Abidin (Sultan Demak) Menggantikan kakanya Raden Faqih (Sunan Ampel II) w. 1540

3)      Sultan Trenggana menggantikan Ayahnya Raden Fattah w. 1518 M

4)      Fatullah Khan / Falatehan w. 1573 M

5)      Sayyid Amir Hassan Menggantikan Ayahnya Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) w. 1550 M

6)      Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) w. 1569 M

7)      Raden Usamuh (Sunan Lamongan) menggantikan kakanya Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) w. 1525 M

8)      Sunan Pakuan Menggantikan Ayahnya Raden Qasim (Sunan Drajat) w. 1533 M

9)      Raden Umar Sahid (Sunan Muria) w. 1551 M

 

7.             1546 M – 1591 M

1)      Syekh Abd. Kohar (Sunan Sedayu) w. 1599 M

2)      Sunan Trafel Raden Zaenal Abidin (Sultan Demak) w. 1570 M

3)      Sunan Trawoto Menggantikan Ayahnya Sultan Trenggana w. 1546

4)      Sunan Maulana Yusuf Cirebon Menggantikan Pamannya Fatullah Khan / Falatehan w. 1573 M

5)      Sayyid Amir Hassan

6)      Sunan Hasanuddin Menggantikan Ayahnya Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) w. 1569 M

7)      Sunan Sunan Mojo Agung menggantikan Raden Usamuh (Sunan Lamongan) w. 1570 M

8)      Sunan Cendana Menggantikan Kakenya Sunan Pakuan w. 1570 M

9)      Sayyid Saleh bin Sunan Kudus Penembahan Pekaos Menggantikan Kakek dari Ibunya Raden Umar Sahid (Sunan Muria) w. 1551 M

 

8.             1591 M – 1650 M

1)      Syekh Abdul Qadir Magelang (Sunan Magelang) Menggantikan Syekh Abd. Kohar (Sunan Sedayu) w. 1599 M

2)      Baba Daud Al-Jawi Menggantikan Gurunya Sunan Trafel w. 1570 M

3)      Sunan Hadi Wijaya (Joko Tingkir) Menggantikan Sunan Trawoto w. 1549 M

4)      Sunan Maulana Yusuf Cirebon

5)      Sayyid Amir Hassan

6)      Sunan Hasanuddin

7)      Syekh Samsudin As-Sumatrani Menggantikan Sunan Sunan Mojo Agung w. 1650 M

8)      Syekh Abdul Gofur bin Abdul Abbas Al-Manduri mennggantikan Sunan Cendana w. 1650 M

9)      Sayyid Saleh bin Sunan Muria

 

9.             1650 M – 1750 M

1)      Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Menggantikan Syekh Abdul Qadir Magelang (Sunan Magelang) w. 1750 M

2)      Syekh Sihabuddin Al-Jawi Menggantikan Baba Daud Al-Jawi w. 1749 M

3)      Sayyid Yusuf Anggawi Sumenep Madura Menggantikan Sunan Hadi Wijaya (Joko Tingkir)

4)      Syekh H. Abd. Rauf Al-Bantani Menggantikan Sunan Maulana Yusuf Cirebon w. 1750 M

5)      Syekh Nawawi Al-Bantani menggantikan Gurunya Sayyid Amir Hassan w. 1740 M

6)      Sultan Abd. Mufaqqir M. Abd. Qodir Menggantikan Buyutnya Sunan Hasanuddin w. 1750 M

7)      Sultan Mualli Ahmad Menggantikan Syekh Samsudin As-Sumatrani w. 1750 M

8)      Syekh Abdul Gofur bin Abdul Abbas Al-Manduri

9)      Sayyid Ahmad Baidowi Al-Fattan Menggantikan Ayahnya Sayyid Saleh bin Sunan Muria w.1750 M

 

10       1750 M – 1897 M

1)      Pengerang Diponegoro Menggantikan Gurunya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

2)      Raden Ali Basa Prawirodirjo menggantikan Syekh Sihabuddin Al-Jawi

3)      Kiai Mojo Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi Sumenep Madura

4)      Prayi Hasan pesari menggantikan Syekh H. Abd. Rauf Al-Bantani

5)      Syekh Nawawi Al-Bantani

6)      Sultan Ageng Tirtayasa Abd. Fattah menggantikan Kakek Sultan Abd. Mufaqqir M. Abd. Qodir

7)      Pengerang Sadeli Menggantikan Kakeknya Sultan Abd. Mualli Ahmad

8)      Sayyid Abd. Wahid Al-Fattani Sumenep Menggantikan Syekh Abdul Gofur bin Abbas Al-Manduri

9)      Sayyid Abd. Rahman Rujulepale Pangkalan Madura Menggantikan kakeknya Sayyid Ahmad Baidowi Al-Fattan. 

11              1897 M – setelahnya

           Majlis Dakwah Walisongo dibekukan oleh Kolonial Belanda, dan banyak para ulama keturunan             walisongo di penjara dan di bunuh. Dan pada umumnya terdapat 9 walisongo yang terkenal dan             memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah Islam di Nusantara.

 

Wallahu`alam bishowab…

Buku lengkapnya bisa menghubungi Penulis  di atas.

1.   

PLURALISME DAN DEMOKRASI, DITERIMA APA DITOLAK ?

  " Syariat bisa berubah karena perubahan zaman, tetapi akidah tidak akan berubah"  (Buya Hamka) PLURALISME DAN DEMOKRASI, DITERIM...